Five Little Ducks

Dede bilang suka lagu ini tapi capek nyanyinya karena lama :D
Yuuk nyanyi bersama :)


Five little ducks
Went out one day
Over the hill and far away
Mother duck said
"Quack, quack, quack, quack."
But only four little ducks came back.

Four little ducks
Went out one day
Over the hill and far away
Mother duck said
"Quack, quack, quack, quack."
But only three little ducks came back.

Three little ducks
Went out one day
Over the hill and far away
Mother duck said
"Quack, quack, quack, quack."
But only two little ducks came back.

Two little ducks
Went out one day
Over the hill and far away
Mother duck said
"Quack, quack, quack, quack."
But only one little duck came back.

One little duck
Went out one day
Over the hill and far away
Mother duck said
"Quack, quack, quack, quack."
But none of the five little ducks came back.

Sad mother duck
Went out one day
Over the hill and far away
The sad mother duck said
"Quack, quack, quack."
And all of the five little ducks came back.

Alternate verse:
Five little ducks
went out to play
Over the hills and far away
Papa duck said,
"QUACK! QUACK! QUACK!"
Five little ducks came swimming back.

Written By: Dorothy Aldis
Copyright Unknown

Nasehat Ibuku

Ibuku adalah guru pertamaku
Bukan karena beliau adalah memang seorang guru SD :), tetapi karena memang beliau mengajarkan banyak hal terutama tentang kehidupan.
Banyak sekali nasehat yang diberikannya sampai-sampai kadang aku merasa banyak sekali aturan-aturan ibuku hehe, karena setiap nasehat berujung dengan aturan hahaha.

Yang saat ini ingin saya tulis adalah tentang menjadi Ibu :)
Ibuku adalah orang desa, jadi aku juga termasuk orang desa karena lahir di desa hahaha
Jadi tidak ada pembantu dan semua dikerjakan sendiri. Sejak SD saya sudah diajarkan untuk membantu Ibu dengan alasan semua wanita harus bisa bekerja seperti menyapu, merapikan rumah dan memasak. Sekolah dan belajar tetap nomor 1, tapi disela waktu bermain dan belajar tentu ada waktu luang untuk membantu Ibu.
Pesannya adalah : setinggi-tinggi sekolahmu nanti, setinggi-tingginya jabatanmu nanti di pekerjaan, kamu tetap harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi jika menjadi seorang istri atau ibu. Kedudukan dan gaji boleh lebih tinggi daripada suami tetapi di rumah, istri adalah istri :).

Ketika aku mempunyai baby, Dede, dan posisi masih kerja kantoran, ada nasehat tambahan lagi hehehe, yang tentu saja sangat bermanfaat.
"Menjadi Ibu bekerja memang berat. Jadi kamu harus kuat-kuat. Tanggung jawabmu bertambah besar, terhadap suami, anak dan pekerjaan. Pekerjaan yang lain tetap, tetapi karena ada bayi yang harus disusuin dan diurus, maka kuatkanlah mental dan fisikmu".
Huhuhu benar sekali!!

Ketika aku mempunyai baby lagi, Didi, dan posisi sudah resign tetapi tanpa asisten di rumah, rasanya begitu berat mengatur waktu untuk bisnis dan keluarga.
Aku seperti kekurangan waktu..
Aku seperti kehabisan tenaga..
Dari sekian deretan to do list hanya sedikit yang tercapai.
Nasehat dari para tetangga yang memang kebanyakan ibu-ibu sepuh saya lakukan juga untuk mencari pola kerja yang baik :D.
Bersamaan dengan itu, sepertinya para asisten ngumpet tidak ada yang mau bekerja :D
Muncullah nasehat berikutnya :)
"Kamu harus tabah, sabar dan kuat.
Jaga kesehatan dan kondisi agar tetap fit karena roda kehidupan rumah tangga bergantung padamu, apalagi masih menyusui.
Mengurus batita dan si kakak sambil bekerja memang agak repot.
Utamakan yang penting saja, tidak semua harus berjalan sempurna.
Yang paling penting anak-anak terurus dengan baik"

Hemm akan kucoba nasehat ibuku ini.
Semoga berhasil!!

Seorang teman juga memforward emailnya yang berjudul :
Anak adalah raja di rumah kita,
yang saya penggal sbb :
Hidup adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok harus mati. Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya sekadar untuk bermanja-manja maka tnapa sadar sering kita malah menghardiknya .. Bukan kita tak sayang keluarga, tapikarena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat.
Ketika kita sedang berkonsentrasi pada pekerjaan, sedang berdarah-darah menata hari depan, dan inipun demi kepentingan mereka pula. Jadi demi hidup yang didepan, kita terkadang mengorbankan kebahagian hari ini,begitu tekad yang ada dalam benak kita.
Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu kanak-kanaknya kembali. Ada jenis masa depan yang kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan masakanak-kanak mereka. [Oleh: Prie GS]

Bob Willen : Kisah Penyandang Cacat Yang Pantang Menyerah

Lomba marathon internasional 1986 di New York diikuti ribuan pelari dari seluruh dunia. Lomba ini berjarak 42 km. mengelilingi kota New York. Jutaan orang di seluruh dunia menyaksikan acara ini melalui televisi secara langsung.
Ada satu orang peserta yang menjadi pusat perhatian di lomba tersebut, yaitu Bob Willen. Bob seorang veteran perang Vietnam. Ia kehilangan kedua kakinya karena terkena ranjau saat perang. Untuk berlari, Bob menggunakan kedua tangannya untuk melemparkan badannya kedepan.
Lomba pun dimulai. Ribuan orang mulai berlari secepat mungkin ke garis finish. Wajah mereka menunjukkan semangat yang kuat. Para penonton terus bertepuk tangan mendukung para pelari. 5 km telah berlalu. Beberapa peserta mulai kelelahan, mulai berjalan kaki. 10 km berlalu. Saat ini mulai nampak siapa yang mempersiapkan diri dengan baik, dan siapa yang hanya sekedar ikut untuk iseng-2. Beberapa yang kelelahan memutuskan untuk berhenti dan naik ke bis panitia.
Sementara hampir seluruh peserta telah berada di kilometer ke-5 hingga ke-10, Bob Willen masih berada di urutan paling belakang, baru saja menyelesaikan kilometernya yang pertama. Bob berhenti sejenak, membuka kedua sarung tangannya yang sudah koyak, menggantinya dengan yang baru, dan kemudian kembali berlari dengan melempar-lemparkan tubuhnya kedepan dengan kedua tangannya.
Ayah Bob yang berada bersama ribuan penonton lainnya tak henti-hentinya berseru “Ayo Bob! Ayo Bob ! Berlarilah terus”. Karena keterbatasan fisiknya, Bob hanya mampu berlari sejauh 10 km dalam satu hari. Di malam hari, Bob tidur di dalam sleeping bag yang telah disiapkan oleh panitia yang mengikutinya.
Empat hari telah berlalu, dan kini adalah hari kelima bagi Bob Willen. Tinggal dua kilometer lagi yang harus ditempuh. Hingga suatu saat, hanya tinggal 100 meter lagi dari garis finish, Bob jatuh terguling. Kekuatannya mulai habis. Bob perlahan-2 bangkit dan membuka kedua sarung tangannya. Nampak di sana tangan Bob sudah berdarah-darah. Dokter yang mendampinginya sejenak memeriksanya, dan mengatakan bahwa kondisi Bob sudah parah, bukan karena luka di tangannya saja, namun lebih ke arah kondisi jantung dan pernafasannya.
Sejenak Bob memejamkan mata. Dan di tengah2 gemuruh suara penonton yang mendukungnya, samar-samar Bob dapat mendengar suara ayahnya yang berteriak “Ayo Bob, bangkit ! Selesaikan apa yang telah kamu mulai. Buka matamu, dan tegakkan badanmu. Lihatlah ke depan, garis finish telah di depan mata. Cepat bangun ! Jangan menyerah! Cepat bangkit !!!”
Perlahan Bob mulai membuka matanya kembali. Garis finish sudah dekat. Semangat membara lagi di dalam dirinya, dan tanpa sarung tangan, Bob melompat- lompat ke depan. Dan satu lompatan terakhir dari Bob membuat tubuhnya melampaui garis finish. Saat itu meledaklah gemuruh dari para penonton yang berada di tempat itu. Bob bukan saja telah menyelesaikan perlombaan itu, Bob bahkan tercatat di Guiness Book of Record sebagai satu-satunya orang cacat yang berhasil menyelesaikan lari marathon.
Di hadapan puluhan wartawan yang menemuinya, Bob berkata
“SAYA BUKAN ORANG HEBAT.
ANDA TAHU SAYA TDAK PUNYA KAKI LAGI.
SAYA HANYA MENYELESAIKAN APA YANG TELAH SAYA MULAI.
SAYA HANYA MENCAPAI APA YANG TELAH SAYA INGINKAN.
KEBAHAGIAAN SAYA DAPATKAN ADALAH DARI PROSES UNTUK MENDAPATKANNYA.
SELAMA LOMBA, FISIK SAYA MENURUN DRASTIS. TANGAN SAYA SUDAH HANCUR BERDARAH-DARAH. TAPI RASA SAKIT DI HATI SAYA TERJADI BUKAN KARENA LUKA ITU, TAPI KETIKA SAYA MEMALINGKAN WAJAH SAYA DARI GARIS FINISH.
JADI SAYA KEMBALI FOKUS UNTUK MENATAP GOAL SAYA.
SAYA RASA TIDAK ADA ORANG YANG AKAN GAGAL DALAM LARI MARATHON INI. TIDAK MASALAH ANDA AKAN MENCAPAINYA DALAM BERAPA LAMA, ASAL ANDA TERUS BERLARI.
ANDA DISEBUT GAGAL BILA ANDA BERHENTI. JADI, JANGANLAH BERHENTI SEBELUM TUJUAN ANDA TELAH TERCAPAI”
[http://ceritateladan.com]