Pendidikan Anak di Masa Pandemi Covid-19

Corona memaksa banyak perubahan di hidup kita. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Saat ada pengumuman di Jawa Barat sekolah diliburkan 2 minggu, saya yang di Surabaya mencari info juga dan ternyata tidak libur. Wah amaan.
Sampai akhirnya waktu hari Sabtu kalau ga salah, ada info bahwa sekolah diliburkan seminggu.
Ah cuman seminggu, masih belum berasa seremnya, malah merasa asyik dapet libur seminggu. Anak-anak bisa ngerjain tugas aja dari rumah dan saya ga ngojek antar jemput anak-anak. Santai seminggu, tugas yang diberikan pun relatif mudah karena mungkin guru-guru juga kelabakan mengubah sistem offline menjadi online. Kami bisa maklum.

Hari Sabtu berikutnya keluar lagi pengumuman belajar dari rumah untuk seminggu ke depan. Yaaa masih nyamanlah. Selain karena di Surabaya belum ada info pasien positif, anak-anak masih merasa keenakan ga sekolah dan belajar ala kadarnya di rumah.

Hari Sabtu berikutnya, ketika keluar pengumuman belajar di rumah untuk seminggu ke depan, mulai ada rasa tidak nyaman. anak-anak semakin hari semakin malas membaca dan melenceng jauh dari jadwal yang saya buat. Jenuh, pengen main sama temen, pengen keluar rumah. Sayapun jadi semakin jarang menegur jika tidak sesuai jadwal. Butuh energi ekstra jika harus mengomel sedangkan perlu energi positif untuk diri saya sendiri agar bisa tetap bekerja online di rumah.

Demikian juga dengan sabtu-sabtu berikutnya ketika keadaan belum membaik dan PSBB mulai diberlakukan sehingga belajar dari rumah semakin lama dan semakin terasa tidak jelas.

Saya memahami, guru-gurupun kaget dan dipaksa harus bisa memberikan pelajaran secara daring. Belum belajar sistem onlinenya, terutama untuk guru yang sudah berumur, belum membuat penyampaikan materi, belum tugasnya dan belum laporan (harian atau bulanan) ke diknas. Sistem dadakan dan belum terstruktur ini membuat kami orang tua gamang belajar bagian mana dan anak-anak santai menunggu instruksi guru dan orang tua, jadi hanya mengerjakan tugas-tugas yang saya rasa cukup mudah bagi mereka.

Suatu hari saya saat mengumpulkan tugas via WA kepada wali kelas, saya bertanya keadaan seperti ini sampai kapan? Apakah boleh saya habiskan menjawab buku tematik 8 (buku terakhir di kelas 3) di rumah? (Biasanya buku tematik diisi di sekolah atau sebagai PR untuk penilaian pribadi). Wali kelas langsung menjawab, boleh bu silakan, karena memang waktunya mepet jika nanti diselesaikan di sekolah (nadanya masih ada harapan bahwa minggu depannya kemungkinan bisa sekolah)

Akhirnya saya mencari bagian-bagian penting dari buku terakhir untuk disampaikan kepada anak saya. Untuk anak saya yang kelas 8, mungkin karena sudah mandiri, tugasnya lebih banyak sehingga memaksa dia untuk membaca buku jika ingin menjawab tugas tersebut. Tapi tetap saja, tidak ada guru yang memberikan materi, anak saya belajar online bersama guru dari tempat bimbelnya yang rutin mengadakan belajar online lewat zoom. Saya hanya mengingatkan sesuai jadwal untuk menjawab LKS. Pertanyaan-pertanyaan di LKS tersebut akan menuntun dia untuk membaca bab-bab yang sesuai. Typical anak milenial banget. Berbeda dengan zaman saya dimana saya harus membaca semua materi dulu baru kemudian menjawab pertanyaan.

Ketikdapastian yang sempat membuat menunggu dan bingung akhirnya saya putuskan bahwa belajar dari rumah kemungkinan besar hingga semester ini berakhir! Dengan mengandalkan "rasa" atas perkiraan saya tersebut saya bisa langsung eksekusi harus memberikan materi seperti apa kepada anak-anak tanpa menunggu gurunya yang mungkin juga masih berjibaku dengan tugas-tugas online dadakannya.

Kendala lainnya belajar online adalah dibutuhkan kuota internet yang cukup jika harus zoom. Selain itu, untuk beberapa anak yang biasanya manut guru kemungkinan akan susah dibimbing oleh orang tuanya. Demikian juga untuk anak yang orang tuanya bekerja, mereka belum bisa belajar sendiri di rumah tanpa pendampingan orang tua terutama untuk seumuran anak saya. Jadi biasanya mereka mengerjakan tugas dan belajar setelah orang tuanya pulang kerja. Untuk kasus seperti ini perlu energi ekstra untuk orang tua karena lelah sepulang kerja dan eskstra fokus untuk anak-anak karena seharian bermain, antara lelah dan belajar terasa kurang fun lagi.

Keadaan ini diluar kontrol kita dan bukan hanya anak saya, anak anda atau anak tetangga kita yang mengalaminya. Semua anak di Surabaya, di Indonesia dan di dunia mengalaminya, belajar dari rumah. Untuk setiap tantangan dalam hidup kita harus hadapi dan untuk setiap kendala kita cari solusinya. Saya yakin mulai dari pemerintah, diknas hingga guru sudah membahas solusi ini dan mungkin akan diterapkan di semester depan dimana semester depan pembelajaran masih secara daring. Solusi ini mungkin berbeda antara satu daerah dengan daerah lain dan antar sekolah dengan sekolah lain karena kondisi dan fasilitas masing-masing sekolah berbeda-beda.

Untuk anak SMP mungkin sudah bisa pembelajaran dengan zoom karena semua memiliki HP dan sebagian besar memiliki laptop serta sudah mandiri dan fokus untuk belajar lewat online. Namun untuk anak SD, dimana fasilitas HP masih nebeng orang tua (termasuk anak saya tidak punya HP) dan belum bisa fokus untuk menonton pembelajaran online tentu membutuhkan pendampingan dari orang tua.

Jadi untuk semester depan yang akan dimulai dalam 2 minggu ini, saya menunggu sistem daring baru yang lebih baik daripada semester lalu 👍🙏

Saya pribadi diberi kesempatan mendampingi anak-anak saya belajar karena saya berbisnis online dari rumah. Memang jadwal saya jadi sangat-sangat berubah dengan adanya anak-anak belajar di rumah karena saya harus menemani belajar lebih lama dibandingkan ketika anak-anak sudah diajarkan oleh gurunya di sekolah dan mendahulukan anak-anak mengerjakan tugas menggunana komputer kerja saja. Jika tugas sudah diselesaikan dan dikumpulkan kepada guru, baru kemudian saya bisa online.

Harapan saya untuk semester depan dengan pembelajaran daring ini adalah

  • ada jadwal pelajaran sama seperti saat belajar di sekolah sebagai panduan belajar anak-anak
  • guru menyampaikan bab dan pembelajaran keberapa dari buku panduan sehingga orang tua fokus mengajar
  • guru menyampaikan tujuan pembelajaran tersebut, misalnya anak-anak harus paham apa saja dari pembelajaran tersebut. Apakah orang tua tidak bisa? Saya rasa disinilah peran bagian pengajaran dan pendidikan. Kalau saya ngajar, saya ajarin semua dalam waktu 2 jam :D. Tapi kan tidak demikian ya... guru membagi ke dalam rencana pengajaran dengan memperhitungkan waktu dan kemampuan anak sesuai usianya.
  • tugas untuk anak-anak jangan pilihan ganda dan relatif mudah. Bukannya mau menyiksa anak-anak memberikan yang susah ya... tapi dari pengalaman semester lalu, jika terlalu mudah anak-anak tidak ada usaha untuk belajar lebih banyak karena tugas dari guru sudah bisa dikerjakan dalam waktu cepat.

Hemm apalagi yaa... sepertinya itu saja yang terpikirkan saat ini. yah itu hanya harapan saja saja berdasarkan kesulitan mendampingi 3 bulan kemarin 😀

Tantangan pandemi ini memaksa semua orang untuk lebih kreatif dan berpositif thinking. Saling menyalahkan guru, sistem, atau pemerintah rasanya tidak akan ada habisnya dan menguras energi (itu perasaan saya). Jika ada masukan bisa disampaikan langsung ke guru, dinas atau KPAI. Untuk saya pribadi yang kebetulan ada di rumah, saya hanya bisa membimbing anak-anak semampu saya dan banyak belajar lagi tentang pelajaran serta ilmu parenting supaya ga jadi singa yang mengaum marah-marah sepanjang hari atau mak lampir yang mengomel sepanjang sejarah perjuangan bangsa hahaha 😅😅

Harapannya sih pelajaran anak-anak tidak tertinggal jauh daripada pembelajaran yang seharusnya mereka dapatkan. Yaaah daripada mengutuk kegelapan, kita coba menyalakan lilin di rumah kita untuk bisa stay positif, stay healthy dan stay safe.

Semoga pandemi ini cepat berlalu, anak-anak bisa sekolah seperti biasanya, mendapatkan ilmu di sekolah dari guru bersama teman-temannya 🙏🙏🙏

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar