Gadget merupakan barang yang tidak asing lagi di era milenial ini. Mulai dari bayi pegangannya udah gadget. Seberapa mahalnya pun masih bisa diusahakan untuk di beli demi memenuhi tuntutan lingkungan. Memang tidak semuanya seperti itu, tapi hal itu banyak terjadi, di kota atau di desa sama saja.
Nyaris semua kalangan tidak bisa lepas
dari gadget di tangannya, malah ada yang 24 jam selalu dekat dengan ponselnya. Saya
sendiri mengenal gadget ketika memulai bisnis online Oriflame. Awalnya saya
tidak begitu tertarik dengan smart phone. Meskipun teman-teman kantor HPnya bagus-bagus, punya saya tetap yang jadul, prinsipnya bisa untuk sms dan nelpon saja.
Jaman dulu belum ada wa dan sosmed seperti sekarang, adanya hanya friendster, itupun saya akses kadang-kadang dari PC jika mau pasang iklan bisnis.
Internetpun merupakan barang mahal kala itu. Karena saya menjalankan bisnis
online dan ada ilmu internet marketing serta facebook marketing, mau tidak mau
saya akhirnya menggunakan smart phone dan memang tidak bisa lepas dari HP terutama selama jam kerja karena semua
komunikasi dilakukan lewat HP.
Namun yang ingin saya bagikan disini bukan
tentang kecanduan pada dewasa atau yang sudah bekerja melainkan pada anak dan
khususnya remaja berdasarkan pengalaman anak saya dan teman-temannya.
Anak-anak saya tidak saya berikan HP
setiap hari. Kadang-kadang saja kalau misal mau cari gambar atau chat dengan
ayahnya jika ayahnya sedang keluar kota. Jadi mereka tidak saya belikan HP
selama SD. Saya belikan smart watch untuk SMS minta jemput dan memantau GPSnya. Sekarang si adik saya berikan HP jadul saya, sayang dibuang, bisa dibuat mainan dan wa temen-temennya :)
Nah waktu kakak masuk SMP, diinfokan bahwa
nanti ada beberapa hal yang dikomunikasikan lewat wa group. Mau tidak mau harus
punya wa karena tidak mungkin menggunakan wa orang tuanya yang juga dipakai
untuk pekerjaan kami. Kami belikan HP dengan spesifikasi yang cukup untuk
browsing dan wa. Beberapa game tidak bisa dimainkan di HP tersebut. Efeknya apa?
Mungkin karena baru punya HP, dia tidak
bisa lepas dari HP.
Mungkin karena baru pertama chat rame di
wa, dia sering cek HP dan wa
Mungkin karena baru punya HP, dia explore
isinya dan coba-coba download game yang ternyata berakhir dengan kecewa karena
Hpnya tidak secanggih temen-temennya.
Sementara saya biarkan, namun lama-lama
saya terganggu juga karena dia jadinya begadang padahal dia bukan tipe yang
melekan. Akhirnya saya ambil HPnya dan cek isinya. WA group ada beberapa dan
isi percakapannya banyak spam sehingga yang penting pun jadi tenggelam. Dia pun
membaca semua chat yang ada dan itu memakan banyak waktu. Namanya anak, belum
tahu strategi ya kita kasih tau ya sebagai orang tua, bahwa:
- notifikasi semua sosmed dan wa dimatikan
saja agar tidak mengganggu
- tidak semua chat harus dibaca
- tidak setiap menit harus melihat HP.
Jadwalkan saja setiap jam untuk cek tugas atua info baru. Jika ada ratusan chat
spam, belajar baca dengan cepat, tandai bintang untuk yang penting dan segera
clear chat agar tidak penuh dan manjat jauh untuk mencari yang penting.
- tidak harus yang paling pertama kali tau
untuk segala info gosip dunia dan berita lainnya yang tidak berhubungan dengan
sekolah
- matikan HP saat akan tidur. Dan
berhubung ini tidak berhasil karena dia tergoda untuk buka HP, akhirnya begitu
dia masuk kamar tidur, HP diserahkan ke saya.
Beruntungnya saya, dia bukan tipe yang
marah kalau Hpnya saya baca atau ambil, malah kadang-kadang kalau sedang banyak
tugas minta bantuan baca chat yang udah ratusan dan ribuan untuk tau apakah ada
info baru. Tapi lama-lama saya paksa dia sendiri untuk bisa baca cepat di
ratusan chat tersebut.
Pada suatu saat, ada aturan dari dinas
pendidikan bahwa semua anak dilarang membawa HP ke sekolah. Berita ini disambut
dengan pro dan kontra. Ada yang setuju karena HP mengganggu konsentrasi anak
belajar dan ada juga yang kontra dengan alasan susah menjemput apalagi jika ada
ekskul. Saya pribadi 90% merasa senang dengan aturan ini. Mungkin karena rumah
saya dekat dengan sekolah sehingga kendala dalam menjemput cepat dicari
solusinya.
Yang namanya perubahan butuh adaptasi. Setelah
melalui protes sana sini dan tetap dilarang membawa HP, akhirnya beberapa anak
mulai terbiasa tidak membawa HP. Hasilnya? Ketika ada jam kosong mereka tidak
bermain HP melainkan bercerita secara tatap muka dengan temannya, bermai ke
perpus, kantin, membaca atau mengerjakan tugas/PR sehingga sampai di rumah bisa
lebih enteng.
Untuk masalah penjemputan, sekolah menyediakan
call center sehingga siswa bisa menghubungi orang tuanya untuk menjemput atau
memesankan ojol. Sedangkan untuk saya dan anak saya, kami janjian apakah hari
ini dijemput dan dimana titik poin ketemunya. Tidak setiap hari dia dijemput,
tergantung berat beban tasnya. Kami sebagai orang tua juga mempertimbangkan
kondisi badannya yang lebih mungil dibandingkan teman sebayanya dan beban tas
yang dibawanya. Jika tasnya ringan biasanya dia jalan kaki pulang sendiri :).
Waah sudah panjang ceritanya, padahal
awalnya mau cerita tentang teman anak saya yang masuk kategori kecanduan cukup
parah dibandingkan dengan kondisi anak saya. Berlanjut di cerita berikutnya aja
ya :)
Kesimpulan sementara dampak negatif gadget
untuk anak saya khususnya dan mungkin anak-anak yang lain pada umumnya adalah:
- kurang sosialisasi secara nyata dengan
temannya
- mereka kurang akran secara fisik ketika
bertemu namun bisa sangat akrab di dunia maya
- melakukan sesuatu yang kurang terpantau
jika akses internet di HPnya lancar dan HPnya lumayan canggih/update karena kan
tidak mungkin orang tua mengawasi 24 jam dalam penggunaan HP.
- kurang fokus belajar di sekolah dan di
rumah
- kurang membaca buku karena habis waktu melihat
HP, mengerjakan tugaspun mencari jawaban di internet, bukannya membaca buku.
- beberapa teman yang cerita ke anak saya
merasa minder jika statusnya jarang yang like atau status WAnya tidak ada yang
melihat. Dia merasa tidak punya teman dan tidak eksis. Hal ini tentu mengganggu
moodnya belajar karena dia merasa cemas dan tertekan.
- dan mungkin masih ada dampak negatif
lainnya yang belum saya sebutkan.
Sebagai orang tua, kita tentu ingin
anak-anak bertanggung jawab dalam manajemen diri dan waktunya namun juga tidak
merasa minder karena kuper, sehingga komunikasi dalam aturan pemakaian gadget perlu
dilakukan antara anak dan orang tua sehingga tercipta win-win solution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar