Saya mengenal sebuah keluarga broken home dimana si anak ini ditinggalkan dengan cara halus oleh keluarganya karena dianggap nakal, urakan, tidak nurut dengan orang tua dan orang tua sudah tidak sanggup menasehatinya.
Mengapa saya katakan ditinggalkan secara halus? Ya karena dia bukannya diusir atau dimaki-maki dimarahin melainkan ditinggalkan di rumah keluarga, sementara keluarga lain pindah ke rumah baru. Rumah baru yang lebih sederhana, bukan rumah baru yang lebih bagus seperti di sinetron-sinetron. Fasilitas material tetap diberikan tapi fasilitas bathiniah sudah tidak ada sama sekali sepertinya. Saya katakan sepertinya karena saya hanya orang luar saja, tidak tahu masalah, tidak tahu mana yang benar dan bukan kapasitas saya untuk menilai, hanya memetik pelajaran darinya.
Akibat kesendiriannya di masa remaja, siapa lagi yang dia cari kalau bukan teman-teman yang bisa menghiburnya dan menemaninya. Temannya bergantian menemani dia, semoga saja teman-teman yang baik dan bukan memanfaatkannya.
Suatu hari seorang teman berkata : "beruntung banget sih hidupmu A (sebut saja namanya A)! Semua dipenuhi, rumah disediakan, makanan catering, pembantu bersihkan rumah dan cuci-cuci juga ada, belum lagi mobil, motor, dan sepeda ini... ini kan mahaaal banget". A : beruntung kaaan, kalian mau ga tukeran sama aku? Teman-teman : ya maulaah, kurang apa lagi hidupmu! A pun tertawa (sumbang)
Sawang
sinawang, begitu kalau orang Jawa bilang. "Hidup itu
hanya memandang dipandang" atau versi selengkapnya "hidup itu hanya
tentang memandang dan dipandang, jadi jangan hanya memandang dari apa yang
terlihat." Terlihat bahagia dari luar, siapa yang tahu di dalam hatinya. Terlihat tertawa di luar, siapa yang bisa melihat hatinya. Terlihat kaya materi, namun bagaimana dengan kasih sayang yang dia butuhkan?
Jangankan jiwa-jiwa muda yang lebih dominan melihat fisik saja, kita yang sudah usia juga kadang masih berlaku demikian.
Kembali lagi dengan si anak A, saya tergelitik untuk introspeksi diri, belajar dari situasi tersebut karena saya memiliki anak menginjak remaja, harapannya dia bisa bahagia hidup bersama keluarga. Dari curhat yang saya dengar dikatakan bahwa sang ayah sibuk bekerja dan dia dimanjakan dengan materi. Namun entah karena kesalahan apa yang mungkin tak termaafkan, akhirnya dia menjadi sendiri. Semua menyalahkan si anak.
Saya sebagai pendengar ya hanya mendengar saja, tidak berani berpendapat tentang masalah mereka karena itu benar-benar urusan dalam negeri dimana saya tidak tahu masalah "awal"nya. Namun sesekali memberikan sedikiiit pandangan berbeda untuk sedikit meredam isu yang ada sekaligus pandangan baru karena selama ini semua melihat dari kacamata bahwa dia anak nakal, tidak melihat kenapa dia jadi nakal?
Jadi kadang saya hanya bertanya : apakah tidak termaafkan si anak sehingga bisa berkumpul kembali? Apa penyebab awal dia nakal, tidakkah nanti dia ada "sakit" hati yang tidak tersalurkan atau sesuatu yang dipendam. Atau kadang mengajak membayangkan, kalau kita jadi si anak ini, bagaimana perasaan kita? Jawabannya ada pada keluarganya, saya tidak bisa banyak membantu selain menyarankan ke ahlinya langsung yaitu konsultasi ke psikiater atau orang yang bisa dimintai pendapat sebagai ahli.
Menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Kita langsung praktek. Teori ada banyak di online dan buku-buku, namun penerapannya sangat tergantung pada situasi dan kondisi di lapangan, bukan hanya kondisi si anak, namun sangat tergantung dengan kondisi emosi orang tua dan orang-orang di sekitarnya.
Zaman juga jauh berbeda sehingga pengasuhan yang kita terima dari orang tua kita belum tentu bisa diterapkan terhadap anak-anak kita. Orang tua zaman now harus mau belajar lebih banyak, terbuka, berkomunikasi aktif dengan anak-anaknya sehingga memberikan tempat paling aman yang pertama dituju anak-anak untuk bercerita.
Semoga segera ada jalan keluar untuk tokok utama cerita saya dan kita berdoa semoga anak-anak kita bisa menjadi anak yang berbhakti pada orang tua, bangsa dan negara, berguna dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar