Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Anak Pertamaku

 Anak pertama...

Tempat pertama tercurah segala kasih sayang dan harapan.
Tempat Ibu belajar banyak hal, sangat banyak malah, sehingga kadang merasa seperti percobaan dari Ibu yang tak punya pengalaman sama sekali.
Ditinggal kerja pagi sampai sore karena Ibu belum ikhlas melepas kerja kantor, yang "sepertinya" bukan karena faktor keuangan tapi lebih kepada ambisi aktualisasi diri dalam pekerjaan yang sesuai ijazah. Karena sejatinya rezeki selalu ada dimanapun kita ikhlas bekerja dan kecukupan materi adalah relatif.
Maafkan...karena sempat membuat neraca antara penghasilan saat kerja di rumah, saat tidak kerja dan saat kerja kantoran. Yang sudah jelas2 tidak bisa dihitung value to value karena di rumah bersamamu sudah pasti dan seharusnya jauh lebih berat.
Mandiri lebih awal ketika si adik hadir yang ternyata banyak menginspirasi adiknya untuk bisa mandiri dan tentu saja menginspirasi Ibu
Diminta mengalah pada adik hanya agar Ibu bisa bekerja dengan tenang.
Diminta membantu jaga adik supaya Ibu bisa selesaikan pekerjaan rumah dan lanjut kerjain bisnisnya.
Kadang tanpa sadar menyalahkan jika terjadi sesuatu dg adik, padahal yang salah adalah Ibu karena Ibu yang seharusnya bertanggung jawab pada adik, bukan kakak.
Konon katanya... anak pertama bisa jadi benci adiknya jika diminta mengalah. Tapi Kakak luar biasa, tetap sayang adik dari adik lahir hingga sekarang.
Terimakasih terimakasih terimakasih 🙏😘
Dan sejuta maaf untuk ketidaksempurnaan Ibu menemanimu hingga sekarang 🙏
Semoga perjalananmu menuju SUKSES terbentang luas, dimudahkan dan dilancarkan menggapai cita untuk kebaikan diri sendiri, keluarga dan orang banyak, Tathastu 🙏

Ibuku Guruku Pahlawanku

Ibuku adalah guru pertamaku

Bukan karena beliau adalah memang seorang guru SD :), tetapi karena memang beliau mengajarkan banyak hal terutama tentang kehidupan.

Banyak sekali nasehat yang diberikannya sampai-sampai kadang aku merasa banyak sekali aturan-aturan ibuku hehe, karena setiap nasehat berujung dengan aturan hahaha.

 

Yang saat ini ingin saya tulis adalah tentang menjadi Ibu :)

Ibuku adalah orang desa, jadi aku juga termasuk orang desa karena lahir di desa hahaha

Jadi tidak ada pembantu dan semua dikerjakan sendiri. Sejak SD saya sudah diajarkan untuk membantu Ibu dengan alasan semua wanita harus bisa bekerja seperti menyapu, merapikan rumah dan memasak. Sekolah dan belajar tetap nomor 1, tapi disela waktu bermain dan belajar tentu ada waktu luang untuk membantu Ibu.

Pesannya adalah : setinggi-tinggi sekolahmu nanti, setinggi-tingginya jabatanmu nanti di pekerjaan, kamu tetap harus bisa mengerjakan pekerjaan rumah, apalagi jika menjadi seorang istri atau ibu. Kedudukan dan gaji boleh lebih tinggi daripada suami tetapi di rumah, istri adalah istri :).

 

Ketika aku mempunyai baby, Dede, dan posisi masih kerja kantoran, ada nasehat tambahan lagi hehehe, yang tentu saja sangat bermanfaat.

"Menjadi Ibu bekerja memang berat. Jadi kamu harus kuat-kuat. Tanggung jawabmu bertambah besar, terhadap suami, anak dan pekerjaan. Pekerjaan yang lain tetap, tetapi karena ada bayi yang harus disusuin dan diurus, maka kuatkanlah mental dan fisikmu".

Huhuhu benar sekali!!

 

Ketika aku mempunyai baby lagi, Didi, dan posisi sudah resign tetapi tanpa asisten di rumah, rasanya begitu berat mengatur waktu untuk bisnis dan keluarga.

Aku seperti kekurangan waktu..

Aku seperti kehabisan tenaga..

Dari sekian deretan to do list hanya sedikit yang tercapai.

Nasehat dari para tetangga yang memang kebanyakan ibu-ibu sepuh saya lakukan juga untuk mencari pola kerja yang baik :D.

Bersamaan dengan itu, sepertinya para asisten ngumpet tidak ada yang mau bekerja :D

Muncullah nasehat berikutnya :)

"Kamu harus tabah, sabar dan kuat.

Jaga kesehatan dan kondisi agar tetap fit karena roda kehidupan rumah tangga bergantung padamu, apalagi masih menyusui.

Mengurus batita dan si kakak sambil bekerja memang agak repot.

Utamakan yang penting saja, tidak semua harus berjalan sempurna.

Yang paling penting anak-anak terurus dengan baik"

 

Hemm akan kucoba nasehat ibuku ini.

Semoga berhasil!!

 

Seorang teman juga memforward emailnya yang berjudul :

Anak adalah raja di rumah kita,

yang saya penggal sbb :

Hidup adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok harus mati. Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya sekadar untuk bermanja-manja maka tnapa sadar sering kita malah menghardiknya .. Bukan kita tak sayang keluarga, tapikarena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat.

Ketika kita sedang berkonsentrasi pada pekerjaan, sedang berdarah-darah menata hari depan, dan inipun demi kepentingan mereka pula. Jadi demi hidup yang didepan, kita terkadang mengorbankan kebahagian hari ini,begitu tekad yang ada dalam benak kita.

Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu kanak-kanaknya kembali. Ada jenis masa depan yang kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan masakanak-kanak mereka. [Oleh: Prie GS]



Bekerja dari Rumah, Apakah Karena Ibu Mengalah?

Suatu hari sebelum pandemi, saya mengikuti suatu acara dan bertemu dengan seorang Ibu yang sudah pensiunan. Sempat basa-basi mengobrol untuk menunggu acara dimulai.
Biasalah yang ditanya kalau sesama Ibu adalah putranya berapa, kerja dimana? Saya pun menjawab dan balik bertanya untuk basa-basi juga :)
 
Ketika tahu saya sudah resign beliau spontan berkata, "Wah sudah resign? Sayang sekali ya bu. Tapi Ibu mengalah ya untuk anak-anak."
Saya sedikit tertegun dengan kata mengalah. Apa iya istilahnya mengalah? apakah Ibu harus mengalah?
Tapi dalam berbasa basi saya memang jarang berdebat, apalagi dengan orang yang baru saya kenal dan belum tentu nanti ketemu lagi. Tidak ada hubunganya juga dengan saya dan jika saya menjelaskan panjang lebar juga ga ada gunanya buat si Ibu :). 
Jadi, saya iyakan saja bahwa saya bekerja di rumah karena keinginan sendiri dan untuk anak-anak.

Memang tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Bertemu si Ibu pun pasti bukan suatu kebetulan. Memberikan sudut pandang baru atau mungkin bahan perenungan.

Demi anak-anak, iyaa bener, tapi kalau dibilang mengalah sih enggak juga ya. 
Eh bukan artinya saya maunya menangan dan ga mau kalah...
Tapi kalau kata-kata mengalah kayaknya resign dengan tidak ikhlas...begitu sih kesannya bagi saya, kurang tahu juga bagi orang lain.
Dan kalau ga ikhlas, ntar kerja di rumahnya jadi ga happy 🙂
 
Sedangkan saya pribadi ya memang keinginan sendiri kerja di rumah deket anak-anak karena berdasarkan pengalaman saya bekerja dengan meninggalkan anak di rumah terasa tidak tenang, apalagi tanpa pengawasan keluarga.
Pengennya juga tetep gajian supaya lebih bebas mengatur keuangan keluarga, merencanakan pendidikan anak-anak dan tentu saja lebih banyak membantu sesama. 
 
Memang tidak masalah sih kata mengalah atau istilah lainnya, toh sama-sama resign. Hanya tentang rasa saja. Dan bagi saya si rasa ini pengaruh banget ke diri dan juga orang-orang di sekitar kita.

Selamat Ulang Tahun Ke-73, Farmasi ITB

73 tahun Farmasi ITB ❤
Bangga menjadi Alumni ITB
❤

Jadi mengingat perjuangan awal kuliah tahun 1996 😊. Memberanikan diri merantau dan hidup mandiri, banyak sekali pelajaran dan pengalaman berharga. Bertahan, berjuang dan bisa lulus semata-mata karuniaNYA. Belajar berhemat di tempat kos, mengusahakan beasiswa bebas SPP untuk membantu meringankan beban orang tua, berjuang lulus tepat waktu sehingga tidak menambah biaya hidup untuk kos dan segera lanjut ke pendidikan proferi Apoteker

Menjelajah jakarta dan bekasi untuk kerja praktek apoteker...wow banget rasanya. Bertemu banyak dewa-dewi penolong selama masa itu, juga atas karuniaNYA. Ada teman seperjalana, menemukan tempat kos yang murah dan bahkan sempat menumpang di rumah seorang Ibu yang baik hati. Tak kalah baiknya, seorang berpakaian preman yang tahu saya kemalaman pulang ke Bandung berbaik hati menitipkan saya kepada sopir bis dan berpesan agar saya selamat sampai di Bandung. Ya kala itu masih polos, tidak terpikir kejahatan hidup seperti berita di media sekarang ini. Yaa hanya KUASA TUHAN yang menggerakan hati orang-orang untuk menolong saya. Terimakasih

Keterima kerja di Cikarang sebelum sumpah jabatan? Benar-benar atas kuasaNYA. Mungkin tahu saya harus bantu melunasi utang yang mungkin masih tersisa untuk biaya hidup dan kuliah saya 🙈. Bertemu senior dan teman kerja yang mengajari saya banyak hal, luar biasa 🙏 👍

Dimudahkah pula proses pindah dan keterima kerja di kota tempat saya membangun keluarga 🙏. Belajar banyak dari teman baru yang berbeda karakter itu juga pengalaman berharga yang menguatkan saya dari waktu ke waktu.

Baru 9 tahun pengabdian saya di dunia farmasi yang saya cintai, terutama di formulasi, hati luluh dengan wajah polos anak saya, dimana saya bertanggung jawab sebagai ibu untuk mendidiknya dengan sebaik yang saya bisa, semasih ada waktu dan kesempatan. Jadi saya berbisnis online di rumah sehingga bisa dekat dengan anak-anak. Ilmu farmasinya terpakai untuk keluarga saja 😊, bersyukur selama 14 tahun mengasuh anak-anak, atas karuniaNYA, kesehatan mereka selalu terjaga. Suksma 🙏

Semoga Farmasi ITB tetap jaya, maju pendidikannya, terdepan inovasinya dan menghasilkan putra-putri bangsa yang berkarakter dan mendukung kesehatan masyarakat Indonesia 🙏🙏🙏


Senyumku Tidak Secerah Hatiku

Saya mengenal sebuah keluarga broken home dimana si anak ini ditinggalkan dengan cara halus oleh keluarganya karena dianggap nakal, urakan, tidak nurut dengan orang tua dan orang tua sudah tidak sanggup menasehatinya.

Mengapa saya katakan ditinggalkan secara halus? Ya karena dia bukannya diusir atau dimaki-maki dimarahin melainkan ditinggalkan di rumah keluarga, sementara keluarga lain pindah ke rumah baru. Rumah baru yang lebih sederhana, bukan rumah baru yang lebih bagus seperti di sinetron-sinetron. Fasilitas material tetap diberikan tapi fasilitas bathiniah sudah tidak ada sama sekali sepertinya. Saya katakan sepertinya karena saya hanya orang luar saja, tidak tahu masalah, tidak tahu mana yang benar dan bukan kapasitas saya untuk menilai, hanya memetik pelajaran darinya.

Akibat kesendiriannya di masa remaja, siapa lagi yang dia cari kalau bukan teman-teman yang bisa menghiburnya dan menemaninya. Temannya bergantian menemani dia, semoga saja teman-teman yang baik dan bukan memanfaatkannya.

Suatu hari seorang teman berkata : "beruntung banget sih hidupmu A (sebut saja namanya A)! Semua dipenuhi, rumah disediakan, makanan catering, pembantu bersihkan rumah dan cuci-cuci juga ada, belum lagi mobil, motor, dan sepeda ini... ini kan mahaaal banget". A : beruntung kaaan, kalian mau ga tukeran sama aku? Teman-teman : ya maulaah, kurang apa lagi hidupmu! A pun tertawa (sumbang)

Sawang sinawang, begitu kalau orang Jawa bilang. "Hidup itu hanya memandang dipandang" atau versi selengkapnya "hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang, jadi jangan hanya memandang dari apa yang terlihat." Terlihat bahagia dari luar, siapa yang tahu di dalam hatinya. Terlihat tertawa di luar, siapa yang bisa melihat hatinya. Terlihat kaya materi, namun bagaimana dengan kasih sayang yang dia butuhkan?

Jangankan jiwa-jiwa muda yang lebih dominan melihat fisik saja, kita yang sudah usia juga kadang masih berlaku demikian.

Kembali lagi dengan si anak A, saya tergelitik untuk introspeksi diri, belajar dari situasi tersebut karena saya memiliki anak menginjak remaja, harapannya dia bisa bahagia hidup bersama keluarga. Dari curhat yang saya dengar dikatakan bahwa sang ayah sibuk bekerja dan dia dimanjakan dengan materi. Namun entah karena kesalahan apa yang mungkin tak termaafkan, akhirnya dia menjadi sendiri. Semua menyalahkan si anak.

Saya sebagai pendengar ya hanya mendengar saja, tidak berani berpendapat tentang masalah mereka karena itu benar-benar urusan dalam negeri dimana saya tidak tahu masalah "awal"nya. Namun sesekali memberikan sedikiiit pandangan berbeda untuk sedikit meredam isu yang ada sekaligus pandangan baru karena selama ini semua melihat dari kacamata bahwa dia anak nakal, tidak melihat kenapa dia jadi nakal?

Jadi kadang saya hanya bertanya : apakah tidak termaafkan si anak sehingga bisa berkumpul kembali? Apa penyebab awal dia nakal, tidakkah nanti dia ada "sakit" hati yang tidak tersalurkan atau sesuatu yang dipendam. Atau kadang mengajak membayangkan, kalau kita jadi si anak ini, bagaimana perasaan kita? Jawabannya ada pada keluarganya, saya tidak bisa banyak membantu selain menyarankan ke ahlinya langsung yaitu konsultasi ke psikiater atau orang yang bisa dimintai pendapat sebagai ahli.

Menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Kita langsung praktek. Teori ada banyak di online dan buku-buku, namun penerapannya sangat tergantung pada situasi dan kondisi di lapangan, bukan hanya kondisi si anak, namun sangat tergantung dengan kondisi emosi orang tua dan orang-orang di sekitarnya.

Zaman juga jauh berbeda sehingga pengasuhan yang kita terima dari orang tua kita belum tentu bisa diterapkan terhadap anak-anak kita. Orang tua zaman now harus mau belajar lebih banyak, terbuka, berkomunikasi aktif dengan anak-anaknya sehingga memberikan tempat paling aman yang pertama dituju anak-anak untuk bercerita.

Semoga segera ada jalan keluar untuk tokok utama cerita saya dan kita berdoa semoga anak-anak kita bisa menjadi anak yang berbhakti pada orang tua, bangsa dan negara, berguna dalam masyarakat.

Kecanduan Gadget pada Anak dan Remaja (2)


Pada certa Kecanduan Gadget pada Anak dan Remaja (I), saya berbagi tentang kondisi pada umumnya dan kondisi anak saya serta solusi yang kami komunikasikan bersama untuk mengurangi ketergantungan pada benda mungil persegi panjang tersebut.

Kali ini saya berbagi tentang teman anak saya, tanpa bermaksud untuk menjelekkan namun semata-mata untuk bisa jadi pelajarang warning untuk kita semua bahwa dampak gadget sedemikian tidak bisa saya bayangkan sebelumnya.

Seperti biasa, anak-anak saya bercerita tentang pengalamannya di sekolah, susah senang tentang dirinya sendiri dilanjutkan dengan cerita teman atau guru jika ada yang menarik atau diluar kebiasaan. Suatu hari dia bercerita bahwa ada beberapa anak yang nekat membawa HP ke sekolah padahal sudah dilarang dan ditemukan guru sehingga disita. Biasanya alasan mereka karena ada kerja kelompok sehingga memudahkan untuk dijemput orang tua. Naah ada satu anak yang murung, gelisah dan tidak memperhatikan pelajaran sepanjang hari sejak HP disita sehingga ditegur guru, ditemukan kertas coretan yang entah apa isinya dan selanjutnya si anak di bawa ke ruang BK untuk mendapat nasehat. Anak-anak lain yang juga HPnya disita tidak menunjukkan gejala ini.
Masih tentang anak tersebut, lanjut cerita anak saya, dia baru tahu kalau si anak ini sering keluar kelas pada saat les, duduk di ruang tunggu dan bermain HP. Mungkin ijin ke toilet tapi lama tidak kembali ke kelas. Kadang cara dia menjawab becandaan anak-anak di wa grup juga lebih agresif dan mudah tersinggung.
Dari cerita anak saya ini, saya akhirnya ngobrol dengan suami dan juga anak saya bahwa mungkin ini sudah masuk kategori kecanduan gadget dimana dia tidak bisa mengontrol atau berlebihan dalam pemakaiannya sehingga menganggu jadwal keseharian, seperti kurang istirahat, tidak belajar, mudah tersinggung dan sebagainya.
Mengapa hal ini bisa terjadi dan tidak terjadi pada anak-anak lain? Yang saya tahu bahwa orang tuanya sangat sibuk, mungkin dia memang butuh teman dan semua terjawab dengan kehadiran HP. Tapi saya tidak berhak menilai dan mengira-ngira kondisi keluarga seseorang, hanya menjadikan hal tersebut pelajaran berharga buat kami.
Sama halnya dengan pengalaman saya pribadi melihat seorang anak yang tantrum ketika tidak diberikan HP oleh mamanya. Suatu hari saya menjemput si adik di sekolah dan melihat mama yang lain menjemput bersama anaknya mungkin usia 4-5 tahunan. Si anak merengek, berteriak, menangis dan bahkan terakhir berguling di pelataran sekolah karena paket internet mamanya habis sehingga dia tidak bisa menonton youtube. Harus beli saat itu juga. Satu hari saya melihat mama A membiarkannya menangis dan satu hari lainnya sempat melihat mama B segera beranjak membeli pulsa agar anaknya diam.
Saya hanya bisa bengong melihatnya dan mengingat-ingat apakah anak saya pernah seseperti itu dan rasanya tidak karena mungkin tipenya bukan agresif dan sejak awal saya katakan bahwa HP Bapak dan Ibu untuk bekerja, tidak bisa dipinjam anak-anak jika tidak penting banget. Mungkin dari situ mereka tahu bahwa HP bukan mainan.
Pernah juga saya melihat di desa, anak SD berHP ria. Ini orang tuanya pada kaya-kayakah? Karena saya sendiri berpikir berkali-kali untuk membelikan anak-anak HP karena bukan barang murah, belum manfaat banget untuk anak-anak dan nilainya cepat turun jika djual kembali tergantikan dengan HP versi terbaru (eh tidak laku malah ya karena anak2 kurang bisa merawat barang sejenis HP :D). Ternyata tidak semua kaya, tapi memaksakan diri karena tuntutan lingkungan, yang lain semua punya kasian anaknya tidak punya sendiri :(. Sedih mendengarnya.....
Sekali lagi saya tidak berani menjudge kondisi keluarga orang lain selain menjadikannya pelajaran dan mencoba browsing tentang penyebab kecanduan gadget dan cara mengatasinya.
Berikut adalah cara mengatasi kecanduan gadget yang sudah kami lakukan di rumah dan saya tambahkan dari beberapa sharing yang saya adalah
- Matikan notifikasi semua aplikasi.
- Hapus aplikasi yang menyebabkan kita mengecek HP setiap saat
- Komunikasi langsung dengan teman dan orang terdekat.
- Mematikan gadget sebelum tidur.
- Hindari penggunaan power bank sehingga ketika batere HP habis, mau tidak mau dia akan berhenti menggunakannya dan mencharge pada tempatnya
- Ganti gadget dengan buku.
- Menonaktifkan internet sementara waktu.
- Gunakan satu media sosial saja.
- Jika bepergian, HP disimpan di tas sehingga tidak setiap saat melihat HP
- Lakukan kegiatan lain bersama keluarga saat weekend seperti berolahraga atau menonton film bersama di rumah
- dan mungkin masih ada solusi lainnya yang bisa dilakukan bersama dan dikomunikasikan.

Kita sebagai orangtua  tentu menginginkan pertumbuhan  dan  perkembangan  anak-anak yang  normal dari segi fisik, emosi dan sosial serta pendidikan akademis dan spiritualnya. Namun tidak  jarang  terjadi gangguan perkembangan pada anak karena faktor dari dalam maupun dari luar lingkungan. Sebagai orang tua yang tidak ada sekolahnya, mengalami masa anak dan remaja yang sama sekali berbeda dengan zaman anak-anak sekarang, mau tidak mau harus selalu belajar sehingga masalah dapat diselesaikan dengan baik dan anak-anak dapat tumbuh dengan baik serta tercapai cita-citanya.