Baby Blues, Gejala dan Penanganannya

 

Baby Blues dialami juga pada perempuan yang telah melahirkan lebih dari satu kali. Terlebih bila setiap melahirkan ia tidak menemukan orang-orang di sekitarnya yang dapat memberikan support dalam banyak hal. Belum lagi, penyesuaian diri dengan peran sebagai ibu baru. Peran yang menuntutnya harus mampu merawat, mengasuh dan mendidik buah hatinya, menimbulkan tekanan.

Gejala, Tingkatan dan Penanganan Baby Blues
Baby Blues rentan dialami oleh perempuan pasca melahirkan. Salah satu penyebabnya adalah adanya guncangan emosional yang dimulai dari persalinan yang mendebarkan dan cukup berat bagi ibu, perasaan cemas berlebihan akan kondisi bayi yang akan dilahirkan (apakah semburna atau cacat) sementara di satu sisi muncul perasaan gembira yang tak terlukiskan bercampur dengan rasa bangga dan kagum akan kemampuannya dalam melahirkan. Namun, di saat yang bersamaan tersembul rasa syukur sekaligus heran mengamati bayi kecil yang tau-tau hadir setelah selama ini berada dalam kandungannya. Perasaan yang tak siap, lelah sekaligus bangga dan bahagia bercampur aduk menimbulkan kegelisahan tersendiri, seperti ”mampukah saya merawat bayi?”. Apalagi saat melihat betapa ringkih si bayi, ibu lantas digelayuti pikiran bahwa semua tugas perawatan ada di pundakanya seorang diri.


1. Matternity Blues (Baby Blues)
 Muncul pada minggu-minggu pertama usai melahirkan dengan gejala yang tergolong ringan, seperti sering menangis, suasana hati mudah berubah-ubah, perasaan lelah, sensitif, pelupa dan mudah tersinggung yang biasanya akan berangsur berkurang. Meski tidak terjadi setiap waktu, ibu kerap kehilangan semangat untuk melakukan berbagai aktivitas perawatan bayi seperti memandikan bayi atau mengganti popok. Meski begitu, si ibu masih mau menyusui bayinya.
Cara Mengatasi
Bantuan langsung/keterlibatan suami, kerabat dekar atau sahabat akan sangat berarti dengan mengambil alih beberaoa tugas perawatan bayi yang memang memungkinkan. Semisal menggantikan popok, memandikan, meninabobokan kala rewel dan sebagainya hingga ibu punya waktu istirahat yang cukup. Sementara sahabat atau kerabat dekat bisa menjadi tempat curhat yang menyenangkan

2. Depresi Pasca-Persalinan (DPP)
DPP umunya mucul 3 bulan setelah melahirkan dengan gejala antara lain sedih berkepanjangan, menangis sambil menjerit-jerit dan munculnya kepribadian labil. Sangat mungkin perawatan bayi jadi terabaikan, bahkan pada beberapa kasus si ibu malah tidak mau lagi menyusui bayinya. Hampir setiap hari ibu kehilangan minat terhadap aktivitasnya sebagai ibu baru, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan tidur, emosi labil/terombang-ambing, didera rasa bersalah karena merasa tidak mampu menyayangi dan mengasuh bayi. Semua gejala tadi biasanya menghebat di sore hari. Si ibu juga kehilangan kemampuan berpikir dan berkonsentrasi serta sulit menentukan pilihan. Bahkan, meski jarang, beberapa ibu merasa tidak berguna atau putus asa yang selalu berujung pada kematian
Cara Mengatasi
Jika gangguan masih tergolong ringan, maka konseling psikologis dan intervensi sosial bisa menjadi solusi. Beberapa hal yang dapat segera dilakukan antara lain meminta bantuan suami dan dukungan dari keluarga, disamping memompa motivasi dan menumbuhkan semangat hidup.
Aturlah manajemen perawatan bayi sedemikian rupa hingga si ibu memiliki waktu untuk beristirahat, mendengarkan musik, dan masih sempat menjalani hobi atau melakukan aktivitas menenangkan dan menyenangkan lainnya. Berkonsultasi dengan psikiater dan psikolog juga sangat dianjurkan.
Pada beberapa kasus yang lebih berat, pengobatan dengan antidepresan diperlukan. Dokter dapat meresepkan obat yang tepat dan aman bagi para ibu yang mengalami DPP guna meminimalkan beberapa keluhan dan gangguan yang dialaminya.

3. Psikosis PostPartum
Inilah gangguan jiwa terberat yang dapat dialami ibu seusai melahirkan. Biasanya timbul 1-3 bulan persalinan. Manifestasi gangguannya pun cukup berat dan akut hingga si ibu terkesan ”setengah gila”. Misalnya, berteriak-teriak dan menjerit-jerit, tidak mau mengurus diri sendiri, dan hilangnya kemampuan berkomunikasi. Pada beberapa ibu bahkan mengalami halusinasi yang berkaitan dengan bayi dan seputar kelahiran. Contohnya, melihat bayinya seperti seekor harimau buas yang harus dibunuh.
Itulah mengapa, gangguan ini tidak hanya berbahaya buat ibu tapi juga si bayi dan orang lain di sekitarnya. Gangguan psikosis postpartum dapat menghancurkan kehidupan perkawinan, merusak relasi ibu dengan bayinya, disamping dapat pula memunculknan gangguan perkembangan emosional pada si bayi. Efek perilaku akan terlihat kelak saat anak berusia 3 tahunan, sedangkan efek kognitifnya saat anak berusia 4 tahun.
Cara Mengatasi
Pada kondisi seperti ini, mau tidak mau ibu dan bayinya harus dipisahkan karena bila tidak justru akan mengancam keselamatan si bayi. Terapi psikologis secara intensif perlu dilakukan dan harus dikombinasikan dengan pemberian obat-obatan. Bahkan pada beberapa kasus, si ibu dianjurkan menjalani perawatan kejiwaan di rumah sakit.

(Referensi: Nakita No. 448, November 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar